Bagi pasangan yang sudah menikah, pasti mendambakan akan kehadiran anak dalam keluarga mereka. Namun terkadang harapan untuk mendapatkan momongan ini tidak serta merta mulus sesuai dengan apa yang diinginkan. Ada yang Allah berikan nikmat ini pada tahun pertama setelah menikah, adapula yang baru 2, 3, 4 tahun menikah, atau lebih bahkan hingga belasan atau puluhan tahun.

Rizki setiap manusia memang Allah telah mengatur semuanya, termasuk juga anak. Masalah utama sulitnya mendapatkan anak bagi pasangan suami istri adalah masalah tentang kesuburan mereka. Masalah kesuburan memang merupakan salah satu hal yang sangat penting bagi setiap orang di muka bumi ini. Baik masalah kesuburan pria atau kesuburan wanita, semuanya merupakan hal yang sangat penting yang perlu mendapat perhatian. Jika saluran telur seorang wanita mengalami kerusakan dan tidak bisa lagi obati atau ditangani dengan cara pembedahan atau berupa tuba yang rusak atau tertutup, mungkin hal ini bisa menjadi penyebab dari terjadinya ketidaksuburan. Namun, ajaran syariat Islam mengajarkan kita untuk tidak boleh berputus asa dan menganjurkan untuk senantiasa berikhtiar (usaha) dalam menggapai karunia Allah subhanahu wa ta’ala. Masalah ketidasuburan saat ini bisa diatasi dengan salah satu program kehamilan berupa program bayi tabung.

Di awal-awal Islam muncul, hal ini belumlah ada. Lantas bagaimana hukum bayi tabung dalam Islam, insyaallah akan kami bahas dalam tulisan yang singkat ini.

Apa itu bayi tabung

bayi tabung

Bayi tabung atau pembuahan in vitro (bahasa Inggris: in vitro fertilisation) adalah sebuah teknik pembuahan dimana sel telur (ovum) dibuahi di luar tubuh wanita. Bayi tabung adalah salah satu metode untuk mengatasi masalah kesuburan ketika metode lainnya tidak berhasil. Prosesnya terdiri dari mengendalikan proses ovulasi secara hormonal, pemindahan sel telur dari ovarium dan pembuahan oleh sel sperma dalam sebuah medium cair.[1]

Dalam bahasa Arab bayi tabung dikenal dengan istilah at-tanqiih as-shinaa’i atau thiflu al-unbuub. Karena teknik bayi tabung ini terbilang baru jika dibandingkan dengan masa kehidupan para ulama terdahulu, sehingga tidak ditemukan mereka pernah membahasnya dan tidak pula menyebutkannya dalam kitab-kitab mereka.

Kecuali di dalam kitab-kitab Syafi’iyyah dikenal sebuah istilah, yaitu istidkhal (pemasukan). Maksudnya ialah proses pemasukan sperma suami ke dalam rahim istrinya tanpa melalui hubungan suami istri[2].

Proses bayi tabung

Setelah melakukan pengkajian mendalam serta mendengarkan penjelasan dari para ahli dan para dokter, Majma’ al-Fiqhi al-Islaami (Islamic Fiqh Academy: Lembaga Fikih Islam) ketika melakukan konferensi ketiga di Amman - ibu kota Yordania, pada tanggal 8-13 Safar 1407 Hijriah atau bertepatan dengan tanggal 11-16 Oktober 1986 Masehi:

Menyatakan bahwa, proses bayi tabung terbagi menjadi tujuh macam[3]:

  1. Sel sperma si suami disemaikan dengan sel telur wanita selain istrinya, kemudian dimasukkan ke dalam rahim istrinya.
  2. Sel telur si istri disemaikan dengan sel sperma laki-laki selain suaminya, kemudian dimasukkan ke dalam rahim si istri.
  3. Sel sperma si suami disemaikan dengan sel telur istrinya, tetapi kemudian dimasukkan ke dalam rahim wanita lain yang bukan istinya.
  4. Penyemaian terjadi antara sel sperma laki-laki lain dan sel telur wanita lain, kemudian dimasukkan ke dalam rahim si istri.
  5. Sel sperma si suami disemaikan dengan sel telur istrinya, tetapi kemudian dimasukkan ke dalam rahim istrinya yang lain. (kasus ini apabila si suami berpoligami).
  6. Sel sperma si suami dan sel telur istrinya disemaikan di luar, kemudian dimasukkan ke dalam rahim istrinya.
  7. Sperma si suami diambil, kemudian disuntikkan tepat ke dalam rahim si istri, sehingga proses penyemaian antar kedua sel terjadi di dalam rahim.

Hukum bayi tabung

Bayi tabung merupakan hasil kemajuan ilmu pengetahuan kedokteran modern. Telah berhasil dilakukan dan terbukti. Hal ini memunculkan permasalahan fiqh kontemporer di antara para ulama mengenai bagaimana hukum bayi tabung. Ulama berbeda pendapat mengenai bayi tabung ada yang mengharamkan secara mutlak dan ada yang merincinya setelah melakukan diskusi ilmiyah dengan para dokter ahli mengenai rincian cara bayi tabung.

  1. Fatwa yang mengharamkan bayi tabung secara mutlak
  2. Fatwa syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albanirahimahullah,

Syeikh Muhammad Nashirudin Al AlBani berfatwa bahwa bayi tabung hukumnya adalah haram, sebagaimana jawaban beliau tatkala ditanyakan kepada beliau terkait permasalah ini, apakah diperbolehkan bagi seorang laki-laki yang mengizinkan dokter untuk memindahkan/ transfer spermanya ke [rahim] istrinya atau apa yang dikenal dengan “bayi tabung”?

Beliau menjawab tidak boleh, karena beberapa hal:

  • Proses pemindahan ini berkonsekuensi minimalnya sang dokter (laki-laki) akan melihat aurat wanita lain.
  • Menempuh cara ini merupakan sikap taklid terhadap orang-orang Barat (kaum kuffar) dalam perkara yang mereka senangi atau (sebaliknya) mereka hindari.
  • Seseorang yang menempuh cara ini untuk mendapatkan keturunan dikarenakan tidak diberi rizki oleh Allah berupa anak dengan cara alami (dengan jima’), berarti dia tidak ridha dengan takdir dan ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.[4]
  1. Fatwa syaikh Abdullah bin Jibrin rahimahullah

Ketika Syaikh Abdullah bin Jibrin ditanya mengenai bayi tabung, beliau menjawab, bahwa beliau tidak melihat hal tersebut boleh, bahkan wajib bagi seorang muslim merasa qona’ah/ridha dengan apa yang Allah tetapkan padanya. Sebagaimana firman-Nya Ta’ala dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia dikehendaki”, ini adalah takdir dan ketetapan Allah Ta’ala dimana Allah menjadikan beberapa wanita mandul yang tidak bisa melahirkan dan menjadikan beberapa laki-laki mandul yang tidak bisa menghasilkan keturunan. Hendaklah seorang hamba ridha dan menerima hukum/ketetapan Allah.[5]

  1. Fatwa yang membolehkan bayi tabung dengan merincinya
  2. Yaitu fatwa dari Majlis al-Majma’ul-Fiqh al-Islami pada pertemuan rutin mereka yang diadakan oleh Liga Muslim Dunia (Râbithatul-‘âlam al-Islâmi) di Mekah selama dua kali daurah (pertemuan). Para ulama ini berdiskusi juga dengan pakar dan dokter ahli mengenai bayi tabung. Dalam pertemuan ini memutuskan bahwa, bolehnya pasangan suami istri yang belum dikaruniai keturunan menempuh jalan dengan mengikuti program bayi tabung dengan syarat-syarat yang ketat.[6]
  3. Fatwa MUI Tentang Bayi Tabung yang menyatakan bahwa Bayi tabung dengan sperma clean ovum dari pasangan suami istri yang sah hukumnya adalah mubah (boleh), sebab hak ini termasuk ikhtiar berdasarkan kaidah-kaidah agama. Sedangkan bayi tabung dari pasangan suami istri dengan titipan rahim istri yang lain (misalnya dari istri kedua dititipkan di istri pertama) hukumnya haram berdasarkan kaidah Sadd Adz-Dzariyah sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang rumit kaitannya dengan masalah warisan.[7]
  4. Keputusan Muktamar Tarjih Muhammadiyah[8] ke-21 di Klaten yang diadakan dari tanggal 6-11 April 1980 dalam Sidang Seksi A (Bayi Tabung) menyebutkan bahwa: Bayi tabung menurut proses dengan sperma dan ovum dari suami-isteri yang menurut Hukum Islam, adalah Mubah, dengan syarat:
  • Teknis mengambil semen (sperma) dengan cara yang tidak bertentangan dengan Syari’at Islam.
  • Penempatan zygota seyogyanya dilakukan Bayi Tabung, oleh dokter wanita.
  • Resipien adalah isteri sendiri.
  • Status anak dari bayi tabung PLTSI-RRI (sperma dan ovum dari suami-isteri yang sah, resi-pien isteri sendiri yang mempunyai ovum itu) adalah anak sah dari suami-isteri yang ber-sangkutan.
  1. Nahdlatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwa terkait masalah ini dalam forum Munas Alim Ulama di Kaliurang, Yogyakarta pada 1981. Ada tiga keputusan yang ditetapkan ulama NU terkait masalah bayi tabung[9]:
  • Apabila mani yang ditabung dan dimasukan ke dalam rahim wanita tersebut ternyata bukan mani suami-istri yang sah, maka bayi tabung hukumnya haram.
  • Apabila sperma yang ditabung tersebut milik suami-istri, tetapi cara mengeluarkannya tidak muhtaram, maka hukumnya juga haram. “Mani muhtaram adalah mani yang keluar/dikeluarkan dengan cara yang tidak dilarang oleh syara’,” papar ulama NU dalam fatwa itu.
  • Terkait mani yang dikeluarkan secara muhtaram, para ulama NU mengutip dasar hukum dari Kifayatul Akhyar II/113. “Seandainya seorang lelaki berusaha mengeluarkan spermanya (dengan beronani) dengan tangan istrinya, maka hal tersebut diperbolehkan, karena istri memang tempat atau wahana yang diperbolehkan untuk bersenang-senang.”
  • Apabila mani yang ditabung itu mani suami-istri dan cara mengeluarkannya termasuk muhtaram, serta dimasukan ke dalam rahim istri sendiri, maka hukum bayi tabung menjadi mubah (boleh).

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa :

bayi tabung

  1. Bayi tabung haram jika sumbernya selnya tidak berasal dari sepasang suami istri yang sah, dan haram jika tempat menaruhnya hasil pembuahannya bukan di rahim istri.
  2. Bayi tabung boleh jika sumbernya selnya berasal dari sepasang suami istri yang sah dengan penekanan merupakan jalan paling terakhir yang ditempuh.
  3. Salah satu alasan diperbolehkan adalah untuk pengobatan dan penyembuhan penyakit mandul
  4. Sangat diupayakan bahwa yang melakukan operasi bagi wanita dengan urutan prioritas pertama dokter wanita muslim, dokter wanita non-muslim, dokter laki-laki muslim dan dokter laki-laki non-muslim

Demikianlah kita melihat ada perbedaan pendapat diantara para ulama, mereka menimbang mana yang lebih besar mashlahat dan mafsadatnya. Menurut pendapat kami pribadi, silahkan memilih pendapat yang mana lebih anda tenang padanya berdasarkan ilmu.

Dan pendapat kami pribadi, kami lebih condong pada pendapat yang membolehkan dengan merincinya. Karena kemandulan adalah salah satu penyakit dan jika bisa diobati maka bisa dilakukan pengobatan tersebut, sebagaimana operasi pembedahan penyakit jantung dan hati. Dimana semua operasi umunya membuka aurat.

Misalnya salah satu contoh penyakit mandul, yaitu ovarium yang menghasilkan sel telur berfungsi dengan baik, kemudian rahim berfungsi dengan baik juga, akan tetapi saluran tuba yang menghubungan keduanya mengalami kerusakan seperti ada kista, penyempitan dan sumbatan. Maka tidak akan bisa terjadi kehamilan.

Demikian juga Fatwa MUI yang selaras dengan fatwa Majlis al-Majma’ul-Fiqh al-Islami. Bayi tabung juga sudah diatur dalam UU negara mengenai status dan pewarisan.

WAALLAHU A’LAM

Madugondo, 08 Desember 2015, Ngaji Babar J

Sumber :

https://id.wikipedia.org/wiki/Fertilisasi_in_vitro, diakses pada 30 November 2015, pukul 16:47

Kitab al-Buyuu’ al-Muharramah wal-Manhiyyu ‘Anha, pasal Bai’u al-Mani dalamhttp://www.cor-pen.blogspot.co.id/2014/12/hukum-bayi-tabung.html diakses pada 5 Desember 2015, 20:00

http://www.cor-pen.blogspot.co.id/2014/12/hukum-bayi-tabung.html, diakses pada 5 Desember 2015, 20:46

Al Albani, Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah, Darul Ibnu Hasyim, Koiro, cet. Ke-1, 1423 H

[sumber situs beliau: http://www.ibn-jebreen.com/?t=fatwa&view=vmasal&subid=12208]

majalah As-Sunnah Edisi 02//Tahun XIII/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, dalam Raehanul, pro-kontra bayi tabung, 2011, http://muslimafiyah.com/pro-kontra-bayi-tabung.html di akses pada 30 November 2015, 16 :50,

Ahmad Sabiq, Abu Yusuf, dalam polemik bayi tabung dalam ebook islam, 2012 www.ibnumajjah.com

http://mui.or.id/wp-content/uploads/2014/11/05.-Bayi-tabung-imseminasi-Buatan.pdf

[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Fertilisasi_in_vitro, diakses pada 30 November 2015, pukul 16:47

[2] Kitab al-Buyuu’ al-Muharramah wal-Manhiyyu ‘Anha, pasal Bai’u al-Mani (halaman 143-144) dalam http://www.cor-pen.blogspot.co.id/2014/12/hukum-bayi-tabung.html diakses pada 5 Desember 2015, 20:00

[3] http://www.cor-pen.blogspot.co.id/2014/12/hukum-bayi-tabung.html, diakses pada5 Desember 2015, 20:46

[4] Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah hal. 288, Darul Ibnu Hasyim, Koiro, cet. Ke-1, 1423 H

[5] http://www.ibn-jebreen.com/?t=fatwa&view=vmasal&subid=12208

[6] majalah As-Sunnah Edisi 02//Tahun XIII/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta,Raehanul, pro-kontra bayi tabung, 2011, http://muslimafiyah.com/pro-kontra-bayi-tabung.html di akses pada 30 November 2015, 16 :50, hal serupa juga disampaikan oleh Ustadz Ahmad Sabiq, Abu Yusuf, dalam polemik bayi tabung dalam ebook islam, www.ibnumajjah.com

[7] http://mui.or.id/wp-content/uploads/2014/11/05.-Bayi-tabung-imseminasi-Buatan.pdf

[8] Tarjih, Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-21 di Klaten. Bayi Tabung dan Pencangkokan dalam Sorotan Hukum Islam. Yogyakarta: Persatuan.hal.84-85)

[9]Fahrizal, Bayi tabung, http://fahrizal91.blogspot.com/2015/08/bayi-tabung.html, diakses pada 5 Desember 2015 pukul 20.34, hal serupa juga disampaikan oleh KH. A. Masduqi Machfudh dalam koleksi hasil Bahtsul Masail MuktamarNU Nganjuk 1981